“Hoamhhh……”
Pagi ini aku bangun kesiangan lagi deh….Huhh! Kesel banget rasanya, padahal hari ini adalah hari pertamaku masuk kelas Fisika di Kelas XII IPA 3. Parahnya, Fisika mata pelajaran pertama hari ini. Tapi aku seneng banget, karena sekarang aku udah kelas XI, masuk jurusan IPA pula.
Karena bangun kesiangan ( telat 15 menit dari biasanya sih ), mesti ngantar adik ke sekolah dulu, plus jalanan yang ramenya minta ampun, aku dihukum sama guru piket dan dimarahin lagi waktu dikelas sama guru Fisika yang agak gila itu. Ehmm…kayaknya kata agak gila gak cocok buat dia, kata yang tepat…Gila!
Ya, walaupun sekarang aku kelas XI tapi guru Fisika aku tetep dia itu. Karena sekolahku yang berada di kota kecil ini, saat ini banyak memiliki guru tunggal untuk satu sekolah. Hahahaha….bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Maksudnya, guru tunggal untuk satu sekolah adalah guru Fisika aku itu ya cuma satu itu yang ngajar dari kelas X, XI dan XII, senada dengan pelajaran Biologi. Karena itu, aku sulit untuk berkonsultasi jika ada sesuatu yang tak kumengerti dengan pelajaran yang dijelaskan. Guru itu udah ngejelasin, tapi gak ngerti juga. Kan kalau kasusnya kayak gitu, aku susah buat konsultasi. Terutama pelajaran Fisika yang hitungan. Kalau Biologi sih gak terlalu jadi masalah karena aku bisa baca buku plus browsing di internet tentang apa yang aku pelajari, begitu aja cukup ngerti pelajaran Biologi. Tapi, Fisika???. Kita (aku dan teman – temanku, tentunya) gak bisa ngerti hanya dengan baca buku atau sumber lainnya. Pelajaran hitungan kayak Fisika ini, kita perlu pembimbing yang buat kita bisa memahami sehingga kita juga bisa pake nalar kita buat belajar. Kadang, (waktu kita SMP) dijelasin aja sama gurunya kita masih gak ngerti. Apalagi cuma ngandelin belajar sendiri dengan baca buku. Parah banget kan!
Nah, masalahnya dari kelas X, ibu guru Fisika-ku yang namanya Surtini itu gak ngajar kita. Tiap masuk dia cuma memahamkan sesuatu, HANYA untuk dirinya sendiri, maksudnya dia ngomong buat dia sendiri, jawab soal buat dirinya sendiri dan kita gak boleh gak ngerti. Kalaupun kita gak ngerti, kita dipaksa untuk ngerti. Lucu banget ya! Hasilnya ketuntasan nilai belajar yang dari satu angkatan ( 5 kelas ) bisa dihitung pake jari, siapa aja yang tuntas. Itu pun, kita menduga ada nepotisme…karena cuma murid yang deket sama dia aja yang tuntas. Aku pun mulai berfikir, gimana nanti kalau kita kelas XII. Bisa – bisa satu kelas IPA gak lulus UAN gara – gara Fisika.
Akhirnya, perwakilan kelas pun dipanggil menghadap Kepala Sekolah (Kepsek). Masalah apa? Ya masalah Bu Surtini itulah. Parahnya, dari hasil pertemuan itu Kepsek bilang kalau kita harus belajar sendiri plus bilang aja ke Bu Surtini kalau gak ngerti, karena sekolah udah memperingatkan Bu Surtini yang tiap tahun selalu mendapat protes dan sekolah pun tak bisa berbuat apa – apa lagi, selain memberi peringatan yang gak ada efeknya. Mending, dia mau ngajarin kalau kita gak ngerti, yang ada dia buat kita makin bingung. Ditambah lagi dia ini termasuk tipe guru yang gak bisa dikritik. Kalau kita kritik, nilai kita yang udah jeblok itu makin direndahin sama beliau. Kenapa gak dikeluarin aja guru kayak gitu? Itulah dia kawan. Satu kota ini cuma ada 2 SMA Negeri. Dia itu PNS yang udah dimutasi dari SMAN 1, ke SMAN 2 tempatku sekarang. Mau dimutasi kemana lagi dia? Gak bisa kan?!Aku pun hanya bisa bersabar dan berdo’a plus tetap berpikir positif.
Hari ini Bab pertama pelajaran Fisika di kelas XI. Kinematika Gerak. Kira – kira mau apa ya Bu Surtini itu?
“Kenapa terlambat?” Bu Surtini membentakku yang baru masuk kelas setelah doa selesai.
“Maaf bu, jalannya rame…ehm, jadi agak ma…”
“Alasan! Baru hari pertama pelajaran Ibu, kamu sudah terlambat. Dasar tidak disiplin, banyak alasan. Duduk sana!” jawabnya yang memotong jawabanku.
Ya, aku akui kali ini aku salah…
“Baiklah anak – anak ini LKS untuk semester ini, harganya Rp. 7000,-“ belum apa –apa dia udah ngebahas hal – hal yang berbau uang.
“Bu, boleh bayar minggu depan gak ? Lagi gak ada uang bu, belum dapat kiriman” sahut Pratama yang hidup sendiri di kota ini, dan kedua orang tuanya berada di kampung halamannya. Aku hanya terdiam.
“Tidak boleh! Ada uang, ada barang!” jawabnya dengan ketus.
Tegas amat jawabnya. Dasar guru yang gak perduli gimana keadaan murid, khususnya keadaan ekonomi dalam hal ini. Setelah sebagian anggota kelas memegang LKS-nya masing – masing, dia pun beraksi.
“Anak – anak baca LKS-nya tentang Kinematika Gerak! Yang tidak punya numpang dulu sama teman lainnya. Setelah itu kita bentuk kelompok untuk berdiskusi besok. Jadi, kalian harus pahami apa yang kalian baca, besok pertemuan selanjutnya kelompok yang Ibu tunjuk harus presentasi. Dan kelompok yang presentasi harus bisa menjawab pertanyaan dari temannya. Mengerti?”
Dengan kejengkelan dan keterpaksaan kami pun serentak menjawab “Iya bu….”
Tuhan bencana apalagi ini. Di hari pertama masuk pelajaran Fisika yang ribet ini, kita cuma disuruh baca buku dan dipaksa paham.
“Oiya, Ibu lupa besok jangan lupa kalian tulis dibalik kalender bekas apa yang akan kalian presentasikan agar teman kalian yang lain bisa lihat. Tulisannya yang besar dan yang bagus ya, agar yang belakang bisa baca tulisannya” lanjutnya.
Cerewet banget sih ini guru! Kita kan udah pulang sore (sekitar jam 3), kapan lagi buat alat presentasinya ama temen kelompok. Gila!
“Hah, kapan buatnya Bu? Kita kan pulangnya sore!” sahut Mayangsaroh, dengan mulut agak monyong.
“Ibu tidak perduli, itu bukan urusan Ibu. Pokoknya besok kalian sudah siap presentasi dengan alat lengkap, kalau tidak nilai kalian Ibu kurangi” tu…kan bener kataku tadi, kawan.
30 menit kemudian…
“Sudah baca kan!? Sekarang duduk berkelompok 4 orang, diskusikan dengan teman kalian apa yang tidak kalian pahami, teman yang mengerti harus mengajari temannya yang tidak mengerti”.
Terus tugasmu apa sebagi guru? Dasar! Tahu gini aku belajar dirumah aja sendiri. Sekolah, tapi gurunya gak ngajar percuma bayar mahal – mahal. Kalau gak gara – gara ijazah.
Kelompokku terdiri dari 4 orang teman perempuanku. Aku, Nana, Ayu dan teman sekelasku dulu Pipeh. Kami pun saling memandang, karena sama – sama tak paham.
“Gimana nih? Kapan buat kalendernya? Aku gak ada kalender bekas, udah dibuang sama Ibuku” kataku.
“Aku punya kalender bekas, masalah itu aku handle” sahut Nana.
“Ya, udah kalu gitu sekarang kita bagi tugas baca. Nana kamu tinggal tulis rumus dasarnya aja ngerti kan?” Ayu angkat bicara.
Keesokan harinya…
“Gimana Na? Jadi kalendernya?” aku langsung bertanya begitu sampai di kelas.
“Dia gak jadi buat Feb! Kalendernya udah dicari gak ada” jawab Ayu.
“Hah!” Pipeh yang baru datang pun ikut terkejut.
“Ya, udah jangan banyak cincong! Sekarang kita minta kardus di kantin sama tali rapia! Habis itu, kita tulis pake boardmaker papan tulis” sahutku.
Bel masuk berbunyi.
“Sudah siap kan!? Baiklah kalau begitu kelompok pertama yang presentasi adalah kelompok Febri, Nana, Ayu dan Pipeh. Ayo cepat maju!”, kata Bu Surtini dengan penuh semangat.
Aduh…dendam banget dia sama aku! Aku disuruh maju.
“Assalamualaikum…pagi ini kelompok kami ingin mempresentasikan hasil diskusi kami tentang Kinematika Gerak ” Pipeh membuka.
“ Kinematika Gerak dibagi menjadi beberapa gerak yakni bla…bla…bla…” aku memulai presentasi.
“ Ini adalah rumus dasar dalam Kinematika Gerak “ sambung Nana sambil menunjuk kardus dengan tulisan rumus.
“ Baiklah itu tadi presentasi dari kelompok pertama. Ada pertanyaan? “ kata Bu Surtini.
Tiba – tiba Hasan mengangkat tangan. Aduhh….mau jawab apa, kita kan pada gak ngerti.
“ Ya Hasan, silahkan! “ lanjut Bu Surtini.
“ Bagaimana caranya kita menentukan posisi dalam gerak? “ Hasan bertanya. Hasan adalah teman sekelompok Fajar. Aku gak tahu kalau gossip itu ternyata benar, bahwa Fajar yang bukan yang bukan teman sekelasku dulu waktu kelas X, suka menjatuhkan teman dalam presentasi maupun diskusi. Dan pertanyaan dari Hasan itu pasti dari Dia. Dia tahu kami tak paham, dan Dia mencoba “Menyerang” kami.
“ Kan udah ada rumusnya “ sahut Pipeh.
“ Ini rumusnya “ sambung Ayu sambil menunjuk salah satu rumus dikardus.
“ Gak ngerti! Jelasin lagi! “ Hasan memperkuat petanyaannya.
Aduh mau jelasin gimana lagi coba, aku aja gak ngerti, batinku.
“ Pake metode grafik “ sahutku.
***
Hari ini adalah hari dimana nilai Ulangan Harian 1 Fisika kelas XI IPA dibagikan, deg – degan. Nilaiku jauh dari ketulusan. Aku gak tahu salah dibagian apa dan salah nomor berapa. Saat aku tanyakan kepada Bu Surtini, dia bilang dia lupa dimana meletakkan hasil ulangan kami.
“ Bu, saya kan remedial. Saya boleh gak lihat hasil ulangan saya? Jadi saya bisa tahu, saya salah bagian mana dan mana saja yang harus saya perbaiki “ Dengan etikad yang kupaksakan untuk sopan, aku bertanya kepadanya.
“ Oh, Ibu lupa taruh dimana hasil ulangan kalian, mungkin dirumah!” jawabnya.
Hah, masa’ iya Ulangan baru kemarin lupa taurh dimana. Dasar gila! Kalau cari alasan yang masuk akal gitu! Ok, aku ambil aja hasil Ulangannya.
“ Ya udah saya ambil kerumah Ibu aja! “ sahutku.
“ Eh, Ibu lupa kayaknya bukan dirumah. Ibu lupa dimana! Kamu itu Cuma tidak menyamakan satuannya, hanya itu “ katanya.
Hah, aku terkejut lagi! Demi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, aku berani sumpah kalau hal pertama yang aku kerjakan adalah menyamakan satuan. It’s impossible!
Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalah untuk tidak mempermasalahkan nilai – nilaiku yang “ajaib” itu, karena bagiku sekolah itu untuk mencari Ilmu bukan nilai. Saat Ulangan Tengah Semester (Mid), aku dituduh tidak mengumpulkan lembar coretan, oleh karena itu nilaiku hanya 50. Padahal saat Mid di ruanganku semua anak mengumpukan lembar coretan dan distaples pula. Banyak banget kan “keajaiban” di sekolahku.
Aku tak tahu harus sampai kapan aku menahan rasa jengkel yang sudah sampai di ubun – ubun. Dia sebagai guru tak melaksanakan tugasnya. Kami lelah menuntut perbaikan kepada pihak sekolah. Kami pun takut tak lulus UAN, jika seperti ini terus – menerus.
Aku jemu, aku lelah. Apakah seperti ini pendidikan di negeri ini. Guru dapat diterima dengan mudah tanpa memperhatikan bagaimana kompetensinya dalam mengajar. Guru bisa sertifikasi dan mendapat gaji dua kali lipat hanya dengan menyerahkan fortopolio yang belum tentu dia yang membuatnya. Kami hanya dikejar untuk menyelesaikan belajar sesuai standar kompetensi yang telah ditentukan, tanpa perduli kami sebagai peserta didik yang akan menjadi penentu nasib bangsa ini sudah paham atau belum dengan materi itu. Bagaimana kami akan bersaing dengan bangsa lain jika kami belum memahami pelajaran yang diberikan?
Guru tanpa tanda jasa. Huh, mungkin tidak sampai separuh guru bangsa saat ini yang pantas menyandang predikat itu. Aku hanya merasa saat ini guru – guru yang mengajarku tidak semuanya mengajar dengan hati, bahkan mereka tega bergumam “ Ibu sih tidak rugi kalau tidak ngajar, yang penting kan Ibu sudah digaji “. Apakah guru seperti itu pantas menyandang gelar “ Tanpa Tanda Jasa ”. Aku muak!
Kami pergi sekolah tapi pulang sekolah kami tak mendapatkan apa – apa. Saat ujian kami pun hanya berusaha mengejar kelulusan tanpa perduli cara apa yang kami pakai, karena seperti itulah kami diajar. Guru – guru itu hanya mengajar kami untuk memperolah hasil yang baik tanpa perduli proses apa yang kami gunakan. Ya, sama kan dengan dengan yang diajarkan oleh guru – guru “Hebat” itu. Jika mereka hanya berpikiran, yang penting sudah ngajar. Kami pun akan ikut berpikir, yang penting lulus. Hal itulah yang menyebabkan pendidikan yang telah dikecap selama bertahun – tahun oleh generasi bangsa berujung pada tidak beresnya moral generasi bangsa. Tapi, memang seperti itulah diajarkan oleh para guru “Hebat” itu pada generasi bangsa, tak terkecuali aku.
Aku muak!
Guru – guruku yang mengajarkan akan kebebasan pendidikan dan demokrasi, tapi mereka pulalah yang mengingkari hal itu, dengan tidak memberi kami uang bersuara. Guru model bgituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.
Kapankah kami bisa mendapatan pendidikan yang sebenarnya?
Author : Auliya’a Hajar Febriyanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan ketik komentar anda